Sebuah cerita detektif noir-fantasi yang saya tulis untuk lomba menulis Fantasy Fiesta 2012 kastilfantasi.com beberapa bulan yang lalu. Sayang nggak menang apa-apa, tapi saya cukup suka dengan cerita ini.
…
Pagi itu, bunyi ketokan di pintu membangunkanku dari tidur. Aku mengangkat wajahku dari meja dan memegang kepalaku yang berdenyut, sambil mencoba mengacuhkan aroma kopi basi yang menguar memenuhi ruangan.
“Siapa?”
Tidak ada jawaban. Daripada menjawab, sang pengetok pintu malah memutar-mutar pegangan pintu. Dia berdehem.
Sialan, aku tahu siapa itu. Aku meraih revolver yang tergeletak di sudut, menjatuhkan semua kertas, bekas makanan, serta teko kaleng yang sudah seminggu berkerak di atas meja. Setelah aku mendapatkannya, akupun berlari ke jendela, melompati sampah-sampah yang berceceran di lantai. Sepuluh detik yang menegangkan berlalu sebelum aku berhasil membuka jendela berkarat sialan itu.
Tapi sebelum aku berhasil menuruni tangga darurat itu sepuluh langkah, dua mahkluk berpakaian rapi menghadangku. Seorang buto jelekyang membuatku merasa seperti anak kecil, dan seorang kurcaci berjenggot lebat yang hanya setinggi dadaku. Mereka berdua mengacungkan senapan mesin hitam ke arahku.
“Hehe.” Aku terkekeh. “Aku bertaruh pasti kalian dipasangkan karena bos kalian punya selera humor yang jelek.”
Mereka tidak menjawab selain dengan sebuah tonjokan ke muka. Tanpa berkata apa-apa, mereka menyeretku kembali ke kantorku.
Di depan mejaku, seorang lelaki paruh baya berjas resmi duduk santai, seakan tanpa dosa. Kedua anak buahnya menjatuhkanku ke meja tanpa kuatir dengan kesehatanku sama sekali.
“Halo, Don Brotosuwarno” Kataku, berusaha tersenyum sekarismatis mungkin dengan bonyok yang ada di mataku. “Aku sumpah, utangku bakal terbayar minggu depan.Adaseorang nenek…”
“Faris… Faris…” Dia memandangku dengan pandangan kebapakan. Ditambah rambut separuh-berubannya yang tersisir rapi, sulit dipercaya kalau dia adalah lelaki paling berbahaya di kerajaan ini.
“Lupakan saja urusan remeh temeh itu. Aku disini bukan untuk menagih uang receh yang kau pinjam itu.”
“Apa ini mungkin tentang orang jelek yang kutonjok di jalan minggu lalu? Aku sumpah, aku tidak tahu dia anak buahmu.”
Don Brotosuwarno tersenyum dan mengatupkan ujung-ujung jarinya. Aku benci bila dia melakukan itu.
“Sebenarnya, aku kesini karena aku membutuhkan jasamu. Kau masih bekerja sebagai detektifkan? Setidaknya jika papan nama di depan pintu gedung ini tidak bohong. Gurumu itu teman lamaku.”
“Y…ya. Tentu saja.” Kataku. Dulu memang kantor bobrok ini terkenal sebagai kantor detektif terhebat di kerajaan ini, saat guruku masih hidup. Aku tidak bilang ke Don Brotosuwarno kalau kasus terakhir yang kutangani adalah kucing hilang yang kutuntaskan sebulan yang lalu.
Dia menyodorkan sebuah bungkusan ke hadapanku. Aku membukanya sambil mengeraskan hatiku. Apa ini? Kepala manusia? Potongan jari? Tapi yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang sama sekali lain.
“Sepatu… kaca?” Tanyaku.
Sebuah sepatu kaca yang indah, dengan hak tinggi lancip dan desain menawan yang memantulkan cahaya suram dari sela-sela kerai jendela ke segala arah.
“Ya. Kau tahu keributan dua hari yang lalu bukan?”
Tentu saja aku tahu. Semua koran di kerajaan ini menuliskannya dengan judul besar-besar. Kekacauan Di Pesta Tahunan Brotosuwarno.
“Seorang… wanita tak dikenal,” katanya sambil menggertakkan gigi, kemarahan seakan membakar kumis hitamnya, “membunuh anakku satu satunya! Di depan orang banyak!” Dia menggebrak meja. “Anakku… pewaris klan Brotosuwarno, ditusuk tepat di dadanya! Hanya sepatu itu satu-satunya petunjuk yang ada. Tertinggalkan oleh sang pembunuh di tengah kekacauan yang terjadi.”
Dia menenangkan nafasnya, sebelum kembali tersenyum.
“Kalau polisi menangkapnya, pembunuh itu hanya akan masuk penjara. Itu sebabnya aku minta tolong pada kepala polisi untuk menangguhkan penyelidikan. Aku tahu kau dalam kesulitan finansial. Temukan sang pembunuh dan bawa ke hadapanku. Kalau kau berhasil, semua hutangmu akan kuanggap lunas.”
Dia bahkan tidak merasa perlu mengatakan apa yang bakal terjadi kalau aku gagal.
…
Siangnya, aku sudah berada di lokasi pesta dengan jas coklat dan topi fedora kesayanganku. Aku berlutut di tempat sang pangeran klan Brotosuwarno tewas. Pekerjaan yang rapi. Orang awam selalu mengira lokasi penusukan akan banjir darah. Di lain sisi, aula megah itu bagaikan sehabis diterpa puting beliung. Sisa-sisa hiasan dan hidangan pesta masih tersebar di segala arah, dan barang-barang pecah belah berceceran di lantai marmer indah.
“Sangat mengerikan!” Kata salah seorang pelayan. “Pesta itu begitu mewah, begitu ramai, begitu mempesona. Orang-orang kaya dan bangsawan dari segala penjurukotadatang dengan pakaian dan perhiasan mereka yang mahal-mahal. Tuan muda sedang berdansa dengan gadis bertopeng misterius yang datang tanpa diundang. Saat tiba-tiba, gadis itu menusuknya dengan pisau tepat di jantungnya! Tuan besar Brotosuwarno langsung mengamuk, lihat saja semua piring dan gelas yang pecah ini.”
Aku memandang lukisan keluarga Brotosuwarno yang tergantung di dinding. Sang pangeran terlihat begitu tampan, dengan rambut pirangnya yang bagaikan sutra, dan mata biru-safirnya. Bahkan mayatnya yang kulihat tadi di persemayaman terlihat mempesona. Kulit pucat dan bibir kebiruan malah terlihat mempertegas keeksotisannya. Sulit dipercaya kalau dia adalah pewaris keluarga Brotosuwarno yang melilitkan tentakel mereka di 90% bisnis illegal di kerajaan ini.
Aku mengeluarkan kaca pembesar, dan mencocokkan sebuah noda di lantai dengan sepatu kaca yang kutimang-timang sedari tadi. Nodanya cocok. Tentu saja, inilah alasan kenapa kekuatan seluruh keluarga Brotosuwarno tidak berhasil menemukan sang pembunuh.
Debu peri.
Tanpa banyak pikir lagi, akupun langsung menuju ke satu-satunya tempat dimana aku bisa mendapatkan informasi tentang ini. Sejak kerajaan ini mengilegalkan debu peri, nyaris semua peri menjadi pengangguran. Sebagian besar meninggalkan kerajaan ini, kembali ke hutan mereka. Hanya sedikit peri keras kepala yang tetap tinggal disini, melakukan pekerjaan serabutan, dan sesekali, menjual debu peri dibawah tangan. Dan mereka semua, kaya atau miskin, selalu menghabiskan uang mereka di Bar Silmarillion yang kukunjungi ini.
Semua pengunjung bar remang-remang itu menatapku curiga begitu aku masuk, aku pasti satu-satunya non-peri di tempat itu. Kipas angin murah berputar di langit-langit, membuat semua bayangan terlihat menari mencurigakan. Tapi aku tak punya banyak waktu. Tanpa basa basi, aku langsung mengunjungi bartender. Peri cantik berambut emas itu menyodorkan minumanku di gelas langsing dan rapuh khas para peri. Jarinya yang lentik kemudian menunjuk ke sudut sebagai jawaban pertanyaanku, ke arah seorang peri yang menenggelamkan mukanya ke lipatan tangan.
“Halo, Fingolfin. Lelah setelah kerja berat?” kataku setelah aku menempatkan diri di kursi reyot di hadapannya.
“Kau ngoceh apa?” Katanya sambil mengangkat muka. Botol di hadapannya setengah penuh oleh cairan hijau berbau tajam, dan sebatang rokok tergantung di wajahnya yang secantik manusia wanita manapun.
Aku menjentikkan jari dan menyalakan rokoknya dengan api sihir yang tercipta. Cahaya muram menerangi wajah kami berdua.
“Aku sudah dengar bagaimana gadis itu tiba di pesta. Limosin labu… gaun berlapis tujuh… Pasti banyak sekali debu peri yang kau gunakan untuk menciptakan semua konstruksi sihir itu. Tentu saja, konstruksi sihir hanya bertahan beberapa jam. Itu sebabnya raja mengilegakan debu peri.
Debu peri adalah salah satu dari sedikit hal illegal diluar telapak tangan keluarga Brotosuwarno. Mereka tidak akan menyangkanya. Dan semua bukti akan langsung hilang malam itu bersama menguapnya konstruksi sihir.
Tapi entah kenapa, kau tidak berbuat sesederhana itu dengan sepatu kaca ini. Ini kaca asli, diperkuat dengan sihir peri. Harganya senilai gaji pegawai kerajaan setahun.”
“Kau tidak bisa membuktikannya!” tegasnya, ekspresinya tiba-tiba menajam.
“Oh, kukira Don Brotosuwarno pasti bisa membuktikannya, cepat atau lambat…”
Dia membalikkan meja dan melompat keluar. Aku mengejarnya. Peri bisa lari sangat cepat, tapi dia setengah mabuk. Aku berhasil menubruknya di gang belakang, sebelum dia berhasil mempercepat larinya atau merapal mantera.
Aku mencengkram kerah bajunya. “Kenapa kau melakukan ini, Fingolfin? Siapa yang menyewamu, katakan! Mungkin kalau kau jujur aku bakal lupa menyebutkan namamu saat melapor kepada Don Brotosuwarno!”
Fingolfin mulai bercucuran air mata. Oke, aku tidak menyangka ini bakal terjadi. “Itu bukan salahku! Aku berusaha membantu mereka! Aku punya hutang budi besar kepada mereka semua, oke? Sebelum kau lahir!” Dia menangis.
“Siapa mereka, Fingolfin?”
“Keluarga Capullet dan Brotosuwarno! Sepatu itu… dititipkan oleh mendiang Don Capullet kepadaku sebelum dia dibunuh. Ternyata ini memang takdir mereka…”
Aku memandang si mahkluk menyedihkan untuk terakhir kali, setengah kasihan setengah jijik, sebelum meninggalkannya menangis sendirian di gang kotor itu. Minuman memang bisa merusak ras manapun.
Keluarga Capullet terlibat?
Semakin jauh aku menyelidiki kasus ini, semakin ingin aku meninggalkannya jauh-jauh. Tapi tidak seperti biasanya, aku terus terdorong maju. Ancaman kematian memang merupakan pendorong yang terkuat.
…
Keesokan harinya, aku mengunjungi target penyelidikanku selanjutnya. Mansion keluarga Capullet adalah sebuah mansion kuno berpilar indah yang terletak di tepi tebing pinggir laut. Pasti dulunya ini properti yang menawan, tapi kurangnya perawatan terlihat jelas. Sejak Don Capullet dibunuh, mantan rival keluarga Brotosuwarno ini terpinggirkan. Tapi wanita yang menyambutku bergaun mewah dan indah, berlawanan drastis dengan kondisi tempat tinggalnya.
Wanita paruh baya itu terlihat begitu cantik dan sombong. Tapi tetap saja iming-iming hadiah menggelitik keingintahuannya.
“Tentu kau boleh mencocokkan sepatu itu,” katanya sembari menepukkan tangan. Dua orang gadis muda bergaun indah yang mirip dengannya segera muncul. Aku melanjutkan sandiwaraku sebagai pesuruh kerajaan, dan mencocokkan sepatu kaca itu ke kaki mereka. Tapi tidak ada yang cocok.
“Kudengar… keluarga ini punya tiga anak gadis?” Tanyaku.
Nyonya besar keluarga Capullet mendengus. “Kau tidak salah dengar. Tapi tidak mungkin anak pemalas itu cocok menjadi model resmi istana.”
“Sayang sekali kalau begitu. Uang kontrak ini besar sekali.”
Pancinganku berhasil. Dia mendengus lagi dan menyuruhku menunggu di gudang, gadis ketiga itu sedang berbelanja kebutuhan dapur.
Gudang kotor itu pasti mendobel sebagai kamar sang gadis, dengan lemari bobrok dan kasur buluk yang yang terhampar. Aku duduk disanabeberapa lama, tenggelam dalam lamunan, saat seseorang menyapa dengan suara lembut.
Gadis yang menyapaku itu berpakaian butut, tapi kecantikannya malah semakin memancar. Rambutnya yang disanggul sederhana membuatnya terlihat anggun, dan wajahnya yang tidak dipoles membuatnya jauh lebih bersinar dari saudari-saudarinya.
Saat aku menunjukkan sepatu kaca itu, ekspresinya berubah.
“Keluar, sekarang!” tegasnya.
Aku menggelengkan kepala. “Percuma saja, nona…” kataku sebelum melemparkan sesuatu ke meja. Pisau berbekas darah di ujungnya yang kutemukan saat aku menggeledah kamar itu sebelum dia pulang. “Banyak penjahat yang melakukan hal bodoh seperti ini karena merasa sentimental. Seharusnya kau membuangnya jauh-jauh. Sama seperti pasangan sepatu itu.”
Dia terdiam sejenak, sebelum tersenyum sangat manis dengan mata berkaca-kaca.
“Kau benar…”
Setitik air mata mengalir dari matanya saat dia mengeluarkan pasangan sepatu itu dari persembunyian. Dia memakai keduanya. Cocok sempurna.
“Katanya sepatu ini peninggalan ibu kandungku.”
“Tidak akan ada yang menyangka kalau diantara mereka semua… kau, si gadis baik setengah-pelayanlah pembunuhnya…” Kataku kagum. “Bahkan kudengar kau tidak diizinkan datang ke pesta. Alibi yang bagus.”
Sang gadis melanjutkan. “Ibu dan saudara tiriku tidak ada yang peduli dengan kehormatan keluarga, tapi aku harus membalas dendam kematian ayahku. Aku sudah lama mencoba mendekati sang pangeran, sampai aku berhasil mendapatkan kesempatan itu. Tapi kau benar, aku menyimpan semua ini karena aku merasa sentimental. Kau tahu kenapa?
Karena aku benar-benar jatuh cinta kepadanya!”
Air mata terus mengalir membasahi pipinya yang putih. “Tapi aku tidak bisa membuang semuanya begitu saja! Tidak setelah semua perencanaan yang kulakukan!”
“Menyerahlah kepada polisi…” Kataku lembut. “Mereka akan melindungimu.”
Dia tertawa. “Kau bercanda? Polisi ada di telapak tangan Brotosuwarno.” Dan tanpa kuduga, dia mengeluarkan sepucuk pistol dari balik mantel bututnya. “Pergi dari sini.”
Aku terdiam dan mundur perlahan, saat dia tiba-tiba berbalik.
Dia berlari meninggalkanku. Aku mengejarnya melewati halaman luas mansion yang tak terawat, melewati sisa-sisa taman dan patung-patung, sampai ke tepi tebing. Suara ombak berdesir di telingaku, menjadi musik latar belakang percakapan.
“Jangan lakukan ini nona…” kataku sambil melangkah perlahan.
“Seperti yang kau bilang, detektif, percuma saja. Semua sudah berakhir.”
Dan sebelum aku dapat melakukan apa-apa, gadis tercantik yang pernah kulihat itu melompat dari tebing yang tinggi, menuju lautan berombak liar penuh karang tajam di bawah.
…
Satu hari lagi berlalu, sebelum aku menemui Don Brotosuwarno di kantornya yang elegan. Dia terlihat terkejut saat mendapatiku duduk di salah satu kursi mahalnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyanya, sembari berjalan berputar melewatiku menuju meja kayu jati miliknya.
Aku melemparkan sepucuk artikel koran, tentang bunuh dirinya gadis keluarga Capullet.
“Dialah sang gadis misterius itu. Ini buktinya.” Kataku sembari melemparkan pisau berbekas darah itu ke meja antiknya.
“Kau berhasil menemukan sang pembunuh? Luar biasa. Sayang aku tidak dapat melingkarkan jariku di lehernya.” Don Brotosuwarno berdecak kagum.
“Ternyata kau tidak mengenal guruku sebaik itu…” aku bergumam.
“Apa maksudmu?”
“Kau pasti benar-benar tidak menyangka kalau aku akan menyelidiki semuanya sejauh ini bukan? Kau hanya mengenalku sebagai detektif kacangan pemalas. Kau menyewaku agar kau punya alasan untuk menangguhkan penyelidikan polisi untuk keluargamu. Tapi seharusnya kau tahu, guruku tidak akan memungut sembarang murid. Memang biasanya aku tak bisa diandalkan, tapi ancaman kematian adalah pendorong yang luar biasa.”
“Apa yang kau ocehkan, detektif!”
“Kubilang aku menemukan sang gadis misterius. Tapi aku tidak pernah bilang dialah pembunuhnya. Sebab kaulah yang membunuh sang pewarismu sendiri.”
Tak ada suara yang terdengar di ruangan itu selain detak jam di dinding. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan ekspresinya yang tidak bisa ditebak. Aku melanjutkan.
“Periksa saja pisau itu. Kau kira kenapa pisau itu tidak dibuat dari debu peri, padahal pisau itu adalah bukti terpenting? Itu pisau opera dengan mekanisme buatan para kurcaci untuk adegan tusuk-menusuk yang dramatis. Kalau pisau asli menusuk jantung, darah akan lebih membanjir.
Sejak awal, pangeran pewarismu tahu kalau gadis itu dari keluarga Capullet. Diam-diam dia membuat perjanjian sendiri dengan Fingolfin sang peri. Kukira rencananya adalah, dia akan berpura-pura mati sebelum menemui sang gadis Capullet dan membujuknya untuk kawin lari dengannya.
Tapi dia tewas sungguhan. Bukan karena pisau, tapi karena racun. Bibir biru itu… kau meracuni makanannya bukan? Lalu kau obrak-abrik meja makan, agar tak ada bukti yang tersisa.”
Sang Don tersenyum dan mengatupkan ujung-ujung jarinya. Aku benci kalau dia melakukan itu.
“Tapi semua itu sama sekali tidak ada buktinya. Kenapa aku membunuh anakku sendiri? Lagipula, kenapa kau menceritakan semua ini kepadaku?”
“Kau pasti selalu benci pewarismu itu. Dia bukan anak kandungmu,kan? Kukira dia setengah-peri, hasil selingkuhan istrimu. Sejak awal kau berniat membunuhnya di pesta itu.
Kalau sang pangeran diotopsi, semua akan terbukti. Aku tahu sedari awal kau tidak berencana menuruti janjimu, dan berencana menghabisiku. Aku menitipkan jurnalku pada kenalanku di koran. Tepati janjimu, dan aku tidak akan menyebarkannya ke siapa-siapa.”
Senyumnya melebar.
“Sayang sekali, detektif. Kepala redaksi koran itu adalah sahabatku…”
Dan tiba-tiba, selusin mahkluk muncul dari berbagai tempat. Dari jendela, dari balkon, dari balik tirai. Manusia, kurcaci, peri, dan buto. Semua mengacungkan senjata api.
Aku mengumpat dan menarik senjataku secara refleks. Aku menembak dada Don Brotosuwarno. Tapi dia hanya mengernyit.
“Faris, kau kira seorang bos besar sepertiku akan berkeliaran tanpa perlindungan? Tapi tetap saja rasanya seperti dipukul godam… Kau akan membayarnya.”
Tentu saja. Mantera pelindung. Aku putus asa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang…
Kukira aku sudah mati saat kudengar letusan senjata, tapi letusan itu datang dari luar ruangan. Seseorang masuk dari pintu, melangkahi sang penjaga pintu yang berlumuran darah, dan berjalan anggun di atas karpet beludru yang melapisi kantor itu.
“Benarkah semua yang kau katakan itu?”
Sang gadis keluarga Capullet! Dia mengikutiku sampai kesini! Bagaimana caranya dia bisa selamat dari tebing itu?
“Aku tidak menyangka aku bakal selamat.” Katanya seakan dapat membaca pikiran semua orang. “Tapi sepertinya, ayah dan ibuku menjagaku dari alamsana. Sepatu itu dimantrai. Mantra pelindung.” Lanjut gadis itu sembari mengacungkan pistol di tangan kanan dan granat di tangan kiri. Menurutku gadis ini benar-benar berpotensi menjadi mafia hebat. Lihat saja kemampuannya mendapatkan senjata.
Sang gadis menembak. Don Brotosuwarno mengernyit kesakitan, sebelum berteriak marah. “Habisi gadis itu!”
Aku melompat ke bawah meja saat peluru berdesingan dari segala arah. Saat aku mengintip keluar, aku melihat gadis itu masih berdiri. Mantera pelindung para peri memang sangat kuat. Tapi aku tahu dia pasti kesakitan setengah mati. Hanya adrenalin yang menyokongnya.
Don Brotosuwarno tertawa. “Percuma saja, nona! Aku juga dilindungi mantera pelindung! Granat itu tidak akan membunuhku!”
“Ya…” Gadis itu membuang granatnya tanpa menarik picu. “Tapi yang ini pasti dapat membunuhmu!”
Dia mencabut sepatu kacanya dan melompat ke arah Don Brotosuwarno. Sebelum ada yang sempat berbuat apa apa, dia menusukkan ujung sepatu yang tajam itu ke dada sang Don.
Kilauan cahaya singkat membutakan semua orang saat mantera pelindung bertemu mantera pelindung. Sedetik kemudian, peluru para pengawal kembali berdesingan.
Saat kilauan cahaya menghilang dan asap senjata berhenti mengepul, terlihat karpet beludru yang kini merah oleh darah. Don Brotosuwarno tergeletak tewas dengan sepatu kaca lancip menusuk jantungnya. Berakhirlah riwayat sang pria paling berbahaya di seantero kerajaan. Dan di sebelahnya, sang gadis cantik keluarga Capullet yang telah kehilangan perlindungan manteranya terbaring penuh lubang peluru, di tengah lautan darah yang perlahan menyebar bagaikan mawar mekar.
…
Hari sudah malam saat aku berada kembali di kantorku. Aku merapikan berkas-berkas yang berceceran di lantai, sebelum duduk termenung di kursi bututku.
Setelah mengetahui hal yang sebenarnya terjadi, adik sang Don, pewaris selanjutnya keluarga Brotosuwarno, melepaskanku tanpa kurang suatu apapun. Dia bahkan setuju untuk menghapus hutang-hutangku. Kasus ini terpecahkan dengan sempurna, dan hasil kerja kerasku terbayar.
Tapi tetap saja, Roma Brotosuwarno dan Julietella Capullet mati sia-sia. Keluarga mafia Brotosuwarno tetap saja menguasai dunia hitam kerajaan ini. Keluarga Capulet tetap saja akan segera menghabiskan harta mereka yang tersisa dengan foya-foya. Matahari tetap saja akan terus terbit dari timur. Dan aku tetap saja perlu makan bulan ini.
Aku menghela nafas dan membaca berkas kasusku selanjutnya. Nenek kaya itu akan membayar mahal kalau aku berhasil menemukan anjing dalmatiannya yang hilang.
Read Full Post »